Ada dua sifat dari sistem pelapisan
dalam masyarakat, yaitu bersifat tertutup (
closed social stratification ), dan bersifat terbuka (opened scial stratification).
Untuk melihat sejauh mana keterbukaan sebuah sistem sosial bisa
diukur dari mudah-tidaknya seseorang
yang mempunyai status tertentu memperoleh status dalam lapisan yang lebih tinggi
(Yinger, 1996:34). Suatu sistem
stratifikasi sosial dinamakan tertutup sama sekali manakala setiap anggota
masyarakat tetap berada dalam status yang sama dengan orang tuanya, dan
dinamakan dengan status orang tuanya—entah itu lebih rendah ataukah lebih tinggi.
Sistem pelapisan dalam masyarakat yang bersifat tertutup membatasi
kemungkinan berpindahnya seseorang dari lapisan satu ke lapisan yang lain, baik
ke lapisan atas maupun ke lapisan yang lebih rendah. Dalam sistem
tertutup semacam ini satu-satunya cara untuk menjadi anggota suatu lapisan
tertentu dalam masyarakat adalah karena
kelahiran.
Sistem tertutup dapat dilihat dengan jelas dalam masyarakat India
yang berkasta, dalam batas-batas tertentu pada masyarakat Bali, juga dapat
dijumpai di Amerika Serikat di mana terdapat
pemisahan antara golongan kulit
putih dan golongan kulit berwarna khususnya Negro yang dikenal dengan istilah segregation atau sistem apartheid
di Afrika Selatan.
Di dalam masyarakat yang
semakin modern dan kritis, sistem pelapisan tertutup
yang diikuti dengan pembagian hak dan kewajiban yang dirasa tidak adil biasanya
akan banyak di persoalkan. Di Afrika Selatan, misalnya, pemilihan atau
diskriminasi hak dan kewajiban antara warga kulit hitam dan kulit putih telah melahirkan berbagai reaksi ketidakpuasan. Di Amerika
Serikat, perlakuan yang tidak adil terhadap warga kulit hitam acapkali juga
melahirkan kecaman dan protes dari berbagai kalangan. Pada satu titik di mana
perlakuan diskriminasi dinilai sudah tidak lagi bisa ditolelir dan pada saat
yang sama ada momen tertentu yang menyulut, maka dengan mudah akan timbul
kerusuhan. Kerusuhan rasial yang terjadi di Los Angeles belum lama ini adalah
salah satu contoh yang bisa di sebut.
Dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai
kesempatan untuk berusaha dengan kemampuannya sendiri. Apabila mampu dan
beruntung seseorang dapat untuk naik ke lapisan yang lebih atas, atau bagi
mereka yang tidak beruntung dapat turun ke lapisan yang lebih rendah.
Sebuah perusahaan yang dikelola secara professional dan tidak atas
dasar ikatan-ikatan primordial adalah salah satu contoh dari sistem
stratifikasi yang sifatnya terbuka. Seorang karyawan – dari mana pun asalnya, bagaimanapun latar belakang
keluarganya, dan apa pun jenis kelaminnya—sepanjang dia memang berdedikasi,
memiliki kemampuan yang memadai, dan mampu bersaing dengan sesama karyawan lain secara professional, maka perjalanan
kariernya kemungkinan besar akan lancar.
Dalam konteks yang lebih makro , contoh sistem stratifikasi yang
terbuka adalah sistem kelas. Berbeda dengan sistem kasta di mana perbedaan
diterima sebagai suatu kewajaran, pada sistem
kelas institusi dalam masyarakat mulai cenderung menentang perlakuan yang
berbeda, dan sebagian besar anggota kelompok yang didominasi biasanya juga
tidak menerima kedudukan rendah yang mereka duduki itu.
Stratifikasi sosial atau pembedaan anggota masyarakat ke dalam
berbagai kelas sosial itu sebenarnya
diperlukan atau tidak? Jawaban atas pertanyaan ini sifatnya relatif,
tergantung dari mana sudut kita melihatnya dan pendekatan macam apa yang kita
jadikan titik acuan.
Perbedaan Asumsi Dasar
Para penganut pendekatan fungsional biasanya akan menjawab bahwa
pelapisan sosial adalah sesuatu yang inheren dan diperlukan demi kelangsunsan sistem.
Sedangkan penganut pendekatan konflik akan menjawab sebaliknya dan menyatakan
bahwa timbulnya pelapisan sosial
sesungguhnya hanyalah ulah kelompok-kelompok
elite masyarakat yang berkuasa untuk mempertahankan dominasinya. Jawaban
kedua pendekatan ini wajar bertolak belakang Karena keduanya. Memiliki asumsi
dan pandangan yang memang berbeda.
Pendekatan fungsionalis dan konflik bertumpu pada dua tradisi yang
didasari perbedaan asumsi tentang hakikat manusia dan masyarakat. Fungsionalis
bertumpu kepada tradisi konservatif yang melihat stratifikasi penting untuk memenuhi
“kebutuhan sosial” masyarakat secara
keseluruhan. Pandangan fungsional ini yakin
bahwa tanpa adanya pelapisan sosial ,
masyarakat justru akan kacau karena aka
nada peran-peran sosial tertentu yang mengalami kekosongan pelaksana atau pemeran.
Di lain pihak, pendekatan konflik mempertanyakan eksistensi dan makna dari pengertian
“kebutuhan sosial”. Penganut pendekatan ini umumnya curiga bahwa dibalik alasan
pelapisan sosial sebenarnya merupakan
kamuflase dan kebutuhan-kebutuhan untuk menperoleh barang dan jasa yang
bernilai dan langka.
Pendekatan Fungsional
Pelopor pendekatan fungsionalis adalah Kingsley Davis dan Wilbert
Moore. Menurut kedua pakar ini stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup
masyarakat yang membutuhkan pelbagai macam jenis pekerjaan. Tanpa adanya
stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni
pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan proses
belajar yang lama dan mahal.
Disini tercakup pengertian bahwa pelapisan sosial
itu perlu ada agar masyarakat berfungsi, bahwa berbagai lapisan dalam
masyarakat bergerak bersama untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat
dan bahwa sistem yang ada, paling tidak secara diam-diam memang telah di
setujui oleh para anggota masyarakat. Sistem pelapisan dengan demikian adalah
suatu ganjaran (hukuman) bagi pelayanan yang diberikan agar memperlancar
masyarakat berfungsi.
Stratifikasi sosial bagi
penganut pendekatan fungsional merupakan
suatu “keperluan”. Keperluan tersebut muncul dari kebutuhan masyarakat untuk
menempatkan orang-orang ke dalam posisi-posisi yang membentuk struktur sosial,
dan kemudian mendorong mereka agar menjalankan tugas-tugas yang berhubungan
dengan posisi tersebut.
Sekurang-kurangnya ada hal
yang harus dilakukan masyarakat agar stratifikasi sosial
dapat berfungsi optimal
(Sunarto:232-233):
1.
Masyarakat
harus menanamkan keinginan untuk mengisi posisi-posisi tertentu pada individu-individu yang sesuai untuk itu.
2.
Setelah
orang-orang berada pada posisi-posisi
itu, masyarakat harus menanamkan keinginan untuk menjalankan peranan yang
sesuai dengan posisi tersebut.
Davis dan Moore lebih lanjut menyatakan agar kelangsungan hidup masyarakat bias berfungsi normal , oleh sebab itu di
perlukan imbalan yang lebih besar bagi
orang-orang kelas social atas
guna merangsang mereka agar mau menerima tanggung jawab dan mengikuti latihan
pendidikan yang di butuhkan bagi kedudukan penting. Semakin penting status yang
ditempati dan semakin sedikit jumlah anggota masyarakat yang mampu mengisinya,
maka seharusnya semakin besar pula imbalan yang diberikan masyarakat. Tanpa
imbalan yang memadai, kecil kemungkinan anggota masyarakat bersedia menjalani
peran sesuai dengan harapan masyarakat (role expectation).
Di dalam semua masyarakat, posisi yang memperoleh imbalan tinggi
pada umumnya terdiri dari posisi yang:
1.
Secara
fungsional bersifat sangat penting (permintaan); dan
2.
Diduduki
oleh orang yang paling berbakat atau
paling bisa memenuhi syarat (penawaran).
Tapi satu hal yang perlu
dicatat: tidak selalu posisi yang penting akan memperoleh imbalan yang tinggi karena di sisi lain penentuan besar
imbalan sebenarnya juga dipengaruhi oleh mudah tidaknya sebuah kedudukan atau
posisi itu diisi oleh anggota masyarakat. Pekerjaan sebagai petani , misalnya ,
diakui semua orang penting dalam menyediakan kebutuhan pangan penduduk. Namun,
karena untuk menjadi petani tidak
dibutuhkan persyaratan yang terlalu rumit dan banyak orang dengan mudah bisa
mengisinya, maka pada umumnya posisi
petani tidak diberi imbalan yang besar.
Pendekatan konflik
Pendekatan konflik
memiliki asumsi yang berhadapan secara diametral dengan pendekatan Davis dan
Moore. Dengan di pelopori oleh Karl Marx, pendekatan konflik berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional yang menciptakan stratifikasi sosial,
melainkan dominasi kekuasaan. Artinya
menurut pendekatan konflik, adanya pelapisan sosial bukan
di pandang sebagai hasil konsensus---karena
semua anggoata masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu—tetapi lebih
dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus menerima adanya perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki
kemampuan untuk menentangnya.
Bagi penganut
pendekatan konflik, pemberian kesempatan yang tidak sama dan semua bentuk
diskriminasi dinilai menghambat orang-orang dari strata rendah untuk
mengembangkan bakat dan potensi mereka semaksimal mungkin. Sistem seleksi di
perguruan tinggi misalnya, bagi penganut pendekatan konflik akan di nilai tidak
adil karena cenderung lebih menguntungkan orang-orang dari kelas atas yang
lebih mampu membayar biaya kursus di
berbagai program bimbingan tes yang
banyak mengajarkan cara-cara cepat dan
praktis dalam mengerjakan soal.
Dalam berbagai tulisannya, Marx acap mengemukakan bahwa dasar pembentukan kelas sosial
bukanlah konsensus, tetapi penghisapan
suatu kelas oleh kelas lain yang lebih tinggi. Menurut Marx, di dalam
masyarakat kapitalis, para pemilik sarana produksi pada hakikatnya adalah wakil
dari kelas atas yang melakukan tekanan
serta dapat memaksakan kontrol terhadap kelas buruh yang posisinya lebih
rendah.
Cara Mempelajari Stratifikasi Sosial
Menurut Zanden (1979), di
dalam sosiologi dikenal tiga pendekatan
untuk mempelajari stratifikasi sosial, yaitu:
Pendekatan
Objektif
Artinya, usaha untuk
memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan dilakukan menurut
ukuran-ukuran yang objektif berupa variable yang mudah di ukur secara
kuantitatif. Beberapa pakar demografi,
misalnya, sering membagi masyarakat menurut kategori umur, tingkat pendidikan,
atau perbedaan besar penghasilan. Pihak
yang di kategorikan menurut pendekatan
objektif mungkin saja mereka tidak
menyadari atau menolak termasuk ke dalam
kategori yang di buat secara objektif
oleh pakar tersebut. Contoh: ketika pemerintah
mengumumkan jumlah orang miskin di Indonesia tahun 1990 hanya tinggal
sekitar 27 juta jiwa, banyak anggota masyarakat menolak atau tidak sadar bahwa
mereka termasuk orang miskin.
Pendekatan
Subjektif
Artinya, munculnya pelapisan sosial dalam masyarakat tidak diukur dengan kriteria-kriteria yang
objektif, melainkan di pilih menurut kesadaran kesadaran subjektif warga
masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan pendekatan objektif dimana peneliti bias
menyusun kategori statistik, untuk
pendekatan subjektif yang tersusun adalah kategori sosial
yang ditandai oleh kesadaran jenis.
Seseorang yang
menurut kriteria objektif termasuk miskin, menurut pendekatan subjektif
ini biasa saja di anggap tidak miskin kalau ia sendiri memang merasa bukan
termasuk kelompok masyarakat miskin.
Pendekatan Reputasional
Artinya, pelapisan sosial disusun
dengan cara subjek penelitian diminta
menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut ke dalam
suatu skala tertentu. Untuk mencari siapakah di desa tertentu yang termasuk
kelas atas, peneliti yang menggunakan pendekatan reputasional biasa melakukannya
dengan cara menanyakan kepada warga desa
tersebut siapakah warga desa setempat yang paling kaya atau menanyakan siapakah warga desa setempat yang paling
mungkin diminta pertolongan meminjamkan uang dan sebagainya.**
Pelapisan Sosial di Indonesia
Untuk memahami pelapisan sosial di Indonesia, kita diminta untuk
menyatukan persepsi tentang suatu pendekatan yang menyatukan teori fungsional dan teori sistem yang menekankan pentingnya konsensus, dengan pendekatan
konflik seperti yang dikehendaki oleh prinsip “Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini
berarti kita dituntut untuk memahami kemajemukan Bangsa Indonesia dan
sekaligus menghayati nilai kesatuan dan persatuan nyang termaktub dalam sila
ketiga Pancasila. Kbhinekaan Bangsa Indonesia
dapat dilihat secara horizontal maupun secara vertikal.
Kebhinekaan horizontal dapat kita lihat dengan adanya
kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan
agama, perbedaan adat istiadat dan perbedaan
kedaerahan. Latar belakang
kemajemukan masyarakat ini menimbulkan
status sosial yang seringkali menunjukkan ciri-ciri antara lain:
a.
Tumbuhnya
kelompok-kelompok yang memiliki sub kultur tersendiri.
b.
Memiliki
struktur sosial yang terbagi dalam lembaga-lembaga yang memiliki pandangan yang berbeda. Misalnya
perbedaan garis keturunan suku Minangkabau dengan suku bangsa lainnya.
c.
Adanya
fanatisme terhadap nilai-nilai kepercayaan
(yang bersifat mendasar) seperti dalam hal agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
d.
Integrasi
hanya didasarkan pada kepentingan-kepentingan bersama. Dalam hal ini Indonesia integrasi nasionalnya didasari
oleh keyakinan untuk mencapai kesejahteraan secara nasional.
e.
Adanya kecenderungan
dominasi politik oleh suatu kelompok tertentu yang telah mencapai
tingkat budaya yang lebih maju.
Struktur masyarakat
Indonesia yang demikian disebabkan karena beberapa hal yaitu :
a.
Keadaan
Geografis
Kondisi geografis yang mewadahi bangsa Indonesia merupakan tebaran
ribuan pulau yang membentang sekitar 3000 mil arah timur barat dan sekitar 1000
mil arah utara selatan, menyebabkan terjadinya isolasi antara penduduk satu pulau dengan pulau lainnya. Dengan kata
lain, terjadilah isolasi antar suku bangsa. Perasaan kesukuan ini timbul
karena adanya satu keterikatan
secara emosional penduduk. Mereka merasa
berasal dari keturunan yang sama, menghadapi tantangan yang sama, dengan cara hidup dan kehidupan
yang sama. Keadaan ini melahirkan lebih
dari 300 suku bangsa di Indonesia dengan sekian ragam kebudayaan dan adat istiadatnya. Isolasi ini
sedikit demi sedikit oleh pemerintah ditembus dengan kemajuan teknologi
komunikasi di Indonesia, sehingga ciri konflik
dari masyarakat majemuk dapat
sedikit demi sedikit mengabur disamping karena
adanya kesatuan ideologi yang kuat.
b.
Pengaruh
beberapa kebudayaan yang berkembang sejak zaman Hindu, masuknya kebudayaan Islam
serta kebudayaan Bangsa Barat di
Indonesia. Pengaruh kebudayaan ini telah menimbulkan kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
c. Dari sudut kehidupan sosial Bangsa Indonesia baik sosial ekonomi maupun sosial budaya juga
menunjukkan kebhinekaannya. Hal ini
disebabkan oleh kondisi lahan dan cuaca.
Perbedaan ekologis ini menyebabkan
perbedaan kepadatan penduduk dimana masyarakat cenderung untuk mendiami
daerah-daerah yang subur. Tentu saja hal ini
akan menimbulkan permasalahan
tersendiri dalam bidang kependudukan dan pelapisan sosial.
Implikasi dari ketiga hal tersebut dalam sistem pelapisan
sosial di Indonesia dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari sebagai
berikut:
a.
Pandangan
kita tentang kebhinekaan Bangsa
Indonesia secara vertikal telah melahirkan
berbagai macam status sosial.
b.
Adanya
isolasi antarsuku bangsa serta perbedaan ekologis dapat merupakan indikator
dalam penyusunan atau polarisasi sosial berdasarkan pandangan vertikal yang
melahirkan struktur sosial.
Secara vertikal di Indonesia dapat kita lihat dalam polarisasi sosial berdasarkan politik
kekayaan. Kekayaan dan politik ini dikembangkan dalam berbagai tingkatan dan
bentuk baik yang bersifat tradisional maupun modern.
Heterogenitas masyarakat
Indonesia menyebabkan timbulnya
berbagai kelompok semu yang semakin
intens dan meningkat menjadi suatu golongan, baik yang berdasarkan kesukuan,
agama, ras dan sebagainya. Golongan-golongan yang ekslusif dengan batas “in group” dan “reference group” yang tegas mengikat anggota-anggota golongan
itu dalam suatu kepentingan untuk
memperjuangkan dan mempertahankan
eksistensinya telah merubah golongan itu menjadi kelompok kepentingan dalam bentuk yang lebih formal.
Pada mulanya kelompok-kelompok keoentingan itu
bergerak dalam bidang sosiokultural, tetapi dalam perkembangan selanjutny berkembang menjadi kegiatan politik
yang membentuk partai-partai politik. Untuk jelasnya kita bandingkan dengan
keadaan pada zaman revolusi fisik, zaman
penjajahan dan masa kemerdekaan. Perubahan orientasi dari masalah-masalah sosial budaya ke masalah
politik melalui serangkaian proses kristalisasi ideologi yang cukup panjang.
Kemampuan suatu partai politik menawarkan suatu nilai yang
melandasi partainya akan
menjadikannya partai besar yang dalam
sistem pemerintahan parlemen menawarkan kesempatan untuk berkuasa. Namun
dilain pihak, karena proses kristalisasi nilai dari berbagai latar
belakang sosiokultural menimbulkan adanya konflik dalam tubuh partai tersebut.
Perlu dikaji perkembangan Masyumi
sebagai partai terbesar dalam pemilu 1995 yangmerupakan fusi dari dua
kutub yaitu NU dan Muhammadiyah.
Adanya partai besar dan atau berkuasa menyebabkan terjadinya
struktur tersendiri dalam dunia kepartaian. Disamping itu
peraturan-peraturan formal birokratif
dalam dunia politik menyebabkan timbulnya
golongan-golongan penguasa (elite politik) berhadapan dengan golongan yang tergolong massa. Dan umumnya
golongan politisi di pandang menempati
suatu tingkat elite tertentu berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki.
Dalam bidang
ekonomi, Indonesia dihadapkan pada dua kenyataan yaitu perekonomian tradisional
dan perekonomian modern. Keduanya memiliki ukuran tersendiri. Perekonomian tradisional masih terpengaruh oleh kebudayaan feodal, kekayaan dan status
sosial seorang semata-mata ditentukan berdasarkan
pemilikan tanah. Kenyataan ini masih dapat ditemukan di daerah-daerah pedesaan yang mata pencahariannya masih homogen. Namun
pengaruh komunikasi dan orbitasi yang semakin lancar sangat dirasakan dalam
perubahan struktur perekonomian. Terjangkaunya daerah pedesaan oleh
modernisasi telah membentuk suatu sistem
sosial baru yang terdiri dari kaum elite desa dan massa, demikian hasil
penelitian W.M.F. HOFSTEEDE di empat
desa di Jawa Barat tahun 1970. Elite
desa terdiri dari Kepala Desa, Guru,
tokoh politik dan agama, petani kaya, selanjutnya lapisan massa terdiri dari
petani menengah, buruh tani, pedagang, kecil, serta yang mengusahakan
kerajinan-kerajinan tangan.
Dampak modernisasi dan
kemajuan industrialisasi serta ilmu pengetahuan
terhadap stratifikasi sosial
masyarakat kota tampak dengan
terbukanya kesempatan mobilisasi keatas
melalui prestasi , keterampilan dan profesi
yang mampu mengangkat pribadi yang bersangkutan dalam kehidupan baik material maupun non material. Bentuk lain dari
pelapisan sosial Indonesia yang
masih dapat kita jumpai adalah
stratifikasi berdasarkan keturunan dan
kasta. Secara formal struktur ini masih
dianut tetapi dalam kehidupan
sehari-hari tidak terlalu menunjukkan garis yang tegas. Pelapisan yang berdasarkan
keturunan atau kebangsawanan ini
umumnya berpengaruh dalam pola
perkawinan antarsuku bangsa. Sedangkan
sistem kasta masih kita jumpai di
masyarakat Bali yang menganut agama Hindu.