Kewenangan dan kekuasaan
berhubungan erat jika dikaitkan. Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya, di mana jika kewenangan
sudah pasti kekuasaan yang melembaga/ memiliki keabsahan sedangkan kekuasaan belum tentu memiliki keabsahan (legal). Misalnya, seorang polisi
lalu lintas mempunyai hak untuk menegur pengendara motor yang tidak menaati
aturan lalu lintas karena polisi lalu lintas tersebut memiliki kewenangan yang
sah/ legal di dalam menjaga keamanan berlalu lintas. Hal ini merupkan
contoh dari kewenangan. Seorang yang
bertugas sebagai pengaman pasar dalam kesehariannya menjaga keamanan pasar,
walaupun belum tentu orang tersebut memiliki keabsahan untuk menjaga keamanan (munkin bisa saja
karena faktor kepercayaan dari lingkungan sekitar).
Beranjak dari bahasan di atas,
selanjutnya saya akan menyinggung soal pengertian kewenangan dan legitimasi.
Kewenangan seperti yang telah diuraikan di atas merupakan kekuasaan yang melembaga/ memiliki keabsahan (legal). Nah, untuk definisi legitimasi itu
sendiri yakni uatu bentuk pengakuan/ apresiasi dari masyarakat terhadap pihak
yang memerintah (yang memiliki wewenang) bahwa semua kekuasaan pihak yang
memerintah sudah selayaknya ditaati/ dipatuhi oleh masyarakat (yang
diperintah).Diharapkan dengan adanya legitimasi di dalam suatu kekuasaan, pihak
yang memiliki kekuasaan akan semakin
leluasa di dalam menjalankan fungsi kewenangannya. Jadi penggunaan kekerasan
fisik/ unsur-unsur paksaan di dalam
memerintah sebisa mungkin diminimalisir.
Terdapat 5 (lima) sumber kewenangan
dan legitimasi (hak memerintah) yakni hak memerintah yang berasal dari tradisi,
Tuhan, kualitas pribadi sang pemimpin, peraturan perundang-undangan, dan
keahlian/ kekayaan. Mungkin dalam refleksi saya kali ini saya akan menyinggung
beberapa bagian saja dari hak memerintah yang telah disebutkan di atas. Hak
memerintah yang berasal dari tradisi lebih menekankan pada kepercayaan kepada seseorang yang
dianggap memang ditakdirkan untuk berkuasa. Menurut saya di dalam masyarakat
tradisional pun orang yang merasa dituakan memangku suatu wewenang di dalam
masyarakat. Hak memerintah yang kedua yaitu berasal dari Tuhan, di manaorang
yang berkuasa merasa merasa bahwa dirinya merupkan wakil Tuhan di dalam
memangku suatu kewenangan. Maka hal tersebut merupakan suatu kesakralan.
Biasanya hak memerintah seperti ini terdapat di dalam suatu keraajaan, dengan
kata lain raja merupakan wakil Tuhan untuk berkuasa (erat kaitannya dengan
unsur teologis). Kemudian terdapat hak memerintah yang berasal dari kualitas
pribadi. Mungkin hak memerintah disini lebih kepada kemampuan sesorang di dalam menjalankan suatu wewenang/
komitmen tinggi seseorang di dalam
berkuasa.
Selain itu terdapat 3 (tiga) klasifikasi wewenang yang dikemukakan oleh seorang tokoh
yang bernama Max Weber yaitu otoritas kharismatik, otoritas tradisional, dan
otoritas rasional-legal. Di dalam refleksi saya ini hanya akan disinggung
tentang otoritas kharismatik. Otoritas kharismatik menunjukkan bahwa
seseorang mempu menjalankan
kekuasaan karena kemampuan yang luar
biasa/ berbeda yang dianugerahi oleh Sang Maha Kuasa di dalam berkuasa. Sebagai
contoh, Ir. Soekarno di dalam kekuasaannya
(Orde Lama) sungguh memiliki charisma
yang berbeda dari yang lain. Di mana jika ia mampu mengobarkan semangan
rakyat untuk melawan penjajah di dalam setiap pidatonya.
Bahasan yang terakhir yakni cara untuk mendapatkan legitimasi.
Secara garis besar terdapat 3 (tiga)
klasifikasi yaitu melalui
doktrin-doktrin tertentu kepada masyarakat, janji-janji kesejahteraan
(materiil), dan dengan cara menjalankan pemilihan umum (pemlu). Pengaruh untuk
mensosialisasikan seseorang kepada
masyarakat untuk mendapatkan pengakuan
dari masyarakat mungkin sah-sah saja. Menurut saya yang terpenting kulitas diri orang tersebut memang benar apa
adanya. Cara mendapatkan legitimasi lewat pemilihan umum (pemilu), di mana hal
ini bersifat legal dan prosedural, masyarakat akan membuka mata dan sadar akan
siapa yang berkuasa serta berupaya untuk menaati aturan-aturan yang
diberlakukan oleh yang memerintah. Aspirasi masyarakat tertuju pada siapa yang
berkuasa, jadi yang berkuasa tersebut tidak begitu sulit untuk mendapatkan
legitimasi. Cara untuk mendapatkan legitimasi melalui janji-janji ataupun materiil menurut saya
kurang begitu baik. Pada hakikatnya masyarakat membutuhkan komitmen yang
tinggi, kredibilitas, maupun loyalitas sang penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar