Kamis, 03 Oktober 2013

APAKAH KEKUASAAN DAN KEWENANGAN BERBEDA?


            Kewenangan dan kekuasaan berhubungan erat jika dikaitkan. Akan tetapi terdapat perbedaan  diantara keduanya, di mana jika kewenangan sudah pasti kekuasaan yang melembaga/ memiliki keabsahan  sedangkan kekuasaan belum tentu memiliki  keabsahan (legal). Misalnya, seorang polisi lalu lintas mempunyai hak untuk menegur pengendara motor yang tidak menaati aturan lalu lintas karena polisi lalu lintas tersebut memiliki kewenangan yang sah/ legal di dalam menjaga keamanan berlalu lintas. Hal ini merupkan contoh  dari kewenangan. Seorang yang bertugas sebagai pengaman pasar dalam kesehariannya menjaga keamanan pasar, walaupun belum tentu orang tersebut memiliki keabsahan  untuk menjaga keamanan (munkin bisa saja karena faktor kepercayaan dari lingkungan sekitar).
            Beranjak dari bahasan di atas, selanjutnya saya akan menyinggung soal pengertian kewenangan dan legitimasi. Kewenangan seperti yang telah diuraikan di atas merupakan kekuasaan  yang melembaga/ memiliki keabsahan (legal). Nah, untuk definisi legitimasi itu sendiri yakni uatu bentuk pengakuan/ apresiasi dari masyarakat terhadap pihak yang memerintah (yang memiliki wewenang) bahwa semua kekuasaan pihak yang memerintah sudah selayaknya ditaati/ dipatuhi oleh masyarakat (yang diperintah).Diharapkan dengan adanya legitimasi di dalam suatu kekuasaan, pihak yang memiliki kekuasaan  akan semakin leluasa di dalam menjalankan fungsi kewenangannya. Jadi penggunaan kekerasan fisik/ unsur-unsur paksaan  di dalam memerintah sebisa mungkin diminimalisir.
            Terdapat 5 (lima) sumber kewenangan dan legitimasi (hak memerintah) yakni hak memerintah yang berasal dari tradisi, Tuhan, kualitas pribadi sang pemimpin, peraturan perundang-undangan, dan keahlian/ kekayaan.  Mungkin dalam  refleksi saya kali ini saya akan menyinggung beberapa bagian saja dari hak memerintah yang telah disebutkan di atas. Hak memerintah yang berasal dari tradisi lebih menekankan  pada kepercayaan kepada seseorang yang dianggap memang ditakdirkan untuk berkuasa. Menurut saya di dalam masyarakat tradisional pun orang yang merasa dituakan memangku suatu wewenang di dalam masyarakat. Hak memerintah yang kedua yaitu berasal dari Tuhan, di manaorang yang berkuasa merasa merasa bahwa dirinya merupkan wakil Tuhan di dalam memangku suatu kewenangan. Maka hal tersebut merupakan suatu kesakralan. Biasanya hak memerintah seperti ini terdapat di dalam suatu keraajaan, dengan kata lain raja merupakan wakil Tuhan untuk berkuasa (erat kaitannya dengan unsur teologis). Kemudian terdapat hak memerintah yang berasal dari kualitas pribadi. Mungkin hak memerintah disini lebih kepada kemampuan sesorang  di dalam menjalankan suatu wewenang/ komitmen  tinggi seseorang di dalam berkuasa.
            Selain itu terdapat  3 (tiga) klasifikasi  wewenang yang dikemukakan oleh seorang tokoh yang bernama Max Weber yaitu otoritas kharismatik, otoritas tradisional, dan otoritas rasional-legal. Di  dalam  refleksi saya ini hanya akan disinggung tentang otoritas kharismatik. Otoritas kharismatik menunjukkan bahwa seseorang  mempu menjalankan kekuasaan  karena kemampuan yang luar biasa/ berbeda yang dianugerahi oleh Sang Maha Kuasa di dalam berkuasa. Sebagai contoh, Ir. Soekarno di dalam kekuasaannya  (Orde Lama) sungguh memiliki charisma  yang berbeda dari yang lain. Di mana jika ia mampu mengobarkan semangan rakyat untuk melawan penjajah di dalam setiap pidatonya.
            Bahasan yang terakhir   yakni cara untuk mendapatkan legitimasi. Secara  garis besar terdapat 3 (tiga) klasifikasi yaitu  melalui doktrin-doktrin tertentu kepada masyarakat, janji-janji kesejahteraan (materiil), dan dengan cara menjalankan pemilihan umum (pemlu). Pengaruh untuk mensosialisasikan seseorang  kepada masyarakat untuk  mendapatkan pengakuan dari masyarakat mungkin sah-sah saja. Menurut saya yang terpenting  kulitas diri orang tersebut memang benar apa adanya. Cara mendapatkan legitimasi lewat pemilihan umum (pemilu), di mana hal ini bersifat legal dan prosedural, masyarakat akan membuka mata dan sadar akan siapa yang berkuasa serta berupaya untuk menaati aturan-aturan yang diberlakukan oleh yang memerintah. Aspirasi masyarakat tertuju pada siapa yang berkuasa, jadi yang berkuasa tersebut tidak begitu sulit untuk mendapatkan legitimasi. Cara untuk mendapatkan legitimasi melalui  janji-janji ataupun materiil menurut saya kurang begitu baik. Pada hakikatnya masyarakat membutuhkan komitmen yang tinggi, kredibilitas, maupun loyalitas sang penguasa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar