Kamis, 17 Oktober 2013

Stratifikasi Sosial


Ada dua sifat dari sistem pelapisan dalam masyarakat, yaitu bersifat tertutup ( closed social stratification ), dan bersifat terbuka (opened scial stratification).
Untuk melihat sejauh mana keterbukaan sebuah sistem sosial bisa diukur dari mudah-tidaknya  seseorang yang mempunyai status tertentu memperoleh status dalam lapisan yang lebih tinggi (Yinger, 1996:34). Suatu sistem stratifikasi sosial dinamakan tertutup sama sekali manakala setiap anggota masyarakat tetap berada dalam status yang sama dengan orang tuanya, dan dinamakan dengan status orang tuanya—entah  itu lebih rendah ataukah lebih tinggi.
Sistem pelapisan dalam masyarakat yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang dari lapisan satu ke lapisan yang lain, baik ke lapisan atas maupun ke lapisan yang lebih rendah. Dalam sistem tertutup semacam ini satu-satunya cara untuk menjadi anggota suatu lapisan tertentu  dalam masyarakat adalah karena kelahiran.
Sistem tertutup dapat dilihat dengan jelas dalam masyarakat India yang berkasta, dalam batas-batas tertentu pada masyarakat Bali, juga dapat dijumpai di Amerika Serikat di mana terdapat  pemisahan antara golongan  kulit putih dan golongan kulit berwarna khususnya Negro yang dikenal  dengan istilah segregation atau sistem apartheid di Afrika Selatan.
Di dalam masyarakat yang  semakin modern dan kritis, sistem pelapisan tertutup yang diikuti dengan pembagian hak dan kewajiban yang dirasa tidak adil biasanya akan banyak di persoalkan. Di Afrika Selatan, misalnya, pemilihan atau diskriminasi hak dan kewajiban antara warga kulit hitam dan kulit putih  telah melahirkan  berbagai reaksi ketidakpuasan. Di Amerika Serikat, perlakuan yang tidak adil terhadap warga kulit hitam acapkali juga melahirkan kecaman dan protes dari berbagai kalangan. Pada satu titik di mana perlakuan diskriminasi dinilai sudah tidak lagi bisa ditolelir dan pada saat yang sama ada momen tertentu yang menyulut, maka dengan mudah akan timbul kerusuhan. Kerusuhan rasial yang terjadi di Los Angeles belum lama ini adalah salah satu contoh yang bisa di sebut.
Dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kemampuannya sendiri. Apabila mampu dan beruntung seseorang dapat untuk naik ke lapisan yang lebih atas, atau bagi mereka yang tidak beruntung dapat turun ke lapisan  yang lebih rendah.
Sebuah perusahaan yang dikelola secara professional dan tidak atas dasar ikatan-ikatan primordial adalah salah satu contoh dari sistem stratifikasi yang sifatnya terbuka. Seorang karyawan – dari  mana pun asalnya, bagaimanapun latar belakang keluarganya, dan apa pun jenis kelaminnya—sepanjang dia memang berdedikasi, memiliki kemampuan yang memadai, dan mampu bersaing dengan sesama karyawan  lain secara professional, maka perjalanan kariernya kemungkinan besar  akan lancar.
Dalam konteks yang lebih makro , contoh sistem stratifikasi yang terbuka adalah sistem kelas. Berbeda dengan sistem kasta di mana perbedaan diterima  sebagai suatu kewajaran, pada sistem kelas institusi dalam masyarakat mulai cenderung menentang perlakuan yang berbeda, dan sebagian besar anggota kelompok yang didominasi biasanya juga tidak menerima kedudukan rendah yang mereka duduki itu.
Stratifikasi sosial atau pembedaan anggota masyarakat ke dalam berbagai kelas sosial  itu sebenarnya diperlukan atau tidak? Jawaban atas pertanyaan ini sifatnya relatif, tergantung dari mana sudut kita melihatnya dan pendekatan macam apa yang kita jadikan titik acuan.
Perbedaan Asumsi Dasar
Para penganut pendekatan fungsional biasanya akan menjawab bahwa pelapisan sosial adalah sesuatu yang inheren dan diperlukan demi kelangsunsan sistem. Sedangkan penganut pendekatan konflik akan menjawab sebaliknya dan menyatakan bahwa timbulnya pelapisan sosial sesungguhnya hanyalah ulah kelompok-kelompok  elite masyarakat yang berkuasa untuk mempertahankan dominasinya. Jawaban kedua pendekatan ini wajar bertolak belakang Karena keduanya. Memiliki asumsi dan pandangan yang memang berbeda.
Pendekatan fungsionalis dan konflik bertumpu pada dua tradisi yang didasari perbedaan asumsi tentang hakikat manusia dan masyarakat. Fungsionalis bertumpu kepada tradisi konservatif yang melihat stratifikasi penting untuk memenuhi “kebutuhan sosial”  masyarakat secara keseluruhan. Pandangan fungsional ini yakin  bahwa tanpa adanya pelapisan sosial , masyarakat justru akan  kacau karena aka nada peran-peran sosial tertentu yang mengalami kekosongan pelaksana atau pemeran.
Di lain pihak, pendekatan konflik mempertanyakan  eksistensi dan makna dari pengertian “kebutuhan sosial”. Penganut pendekatan ini umumnya curiga bahwa dibalik alasan pelapisan sosial  sebenarnya merupakan kamuflase dan kebutuhan-kebutuhan untuk menperoleh barang dan jasa yang bernilai dan langka.
Pendekatan Fungsional
Pelopor pendekatan fungsionalis adalah Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Menurut kedua pakar ini stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan pelbagai macam jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal.
Disini tercakup pengertian bahwa pelapisan sosial itu perlu ada agar masyarakat berfungsi, bahwa berbagai lapisan dalam masyarakat bergerak bersama untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan bahwa sistem yang ada, paling tidak secara diam-diam memang telah di setujui oleh para anggota masyarakat. Sistem pelapisan dengan demikian adalah suatu ganjaran (hukuman) bagi pelayanan yang diberikan agar memperlancar masyarakat berfungsi.
Stratifikasi sosial bagi penganut pendekatan  fungsional merupakan suatu “keperluan”. Keperluan tersebut muncul dari kebutuhan masyarakat untuk menempatkan orang-orang ke dalam posisi-posisi yang membentuk struktur sosial, dan kemudian mendorong mereka agar menjalankan tugas-tugas yang berhubungan dengan posisi tersebut.
 Sekurang-kurangnya ada  hal  yang harus dilakukan masyarakat agar stratifikasi sosial dapat  berfungsi optimal (Sunarto:232-233):
1.      Masyarakat harus menanamkan keinginan untuk mengisi posisi-posisi tertentu pada  individu-individu yang sesuai untuk itu.
2.      Setelah orang-orang  berada pada posisi-posisi itu, masyarakat harus menanamkan keinginan untuk menjalankan peranan yang sesuai dengan posisi tersebut.

Davis dan Moore lebih lanjut menyatakan  agar kelangsungan hidup masyarakat  bias berfungsi normal , oleh sebab itu di perlukan imbalan yang lebih besar bagi  orang-orang kelas social  atas guna merangsang mereka agar mau menerima tanggung jawab dan mengikuti latihan pendidikan yang di butuhkan bagi kedudukan penting. Semakin penting status yang ditempati dan semakin sedikit jumlah anggota masyarakat yang mampu mengisinya, maka seharusnya semakin besar pula imbalan yang diberikan masyarakat. Tanpa imbalan yang memadai, kecil kemungkinan anggota masyarakat bersedia menjalani peran sesuai dengan harapan masyarakat (role expectation).
Di dalam semua masyarakat, posisi yang memperoleh imbalan tinggi pada umumnya terdiri dari posisi yang:
1.      Secara fungsional bersifat sangat penting (permintaan); dan
2.      Diduduki oleh orang yang paling berbakat  atau paling bisa memenuhi syarat (penawaran).
     Tapi satu hal yang perlu dicatat: tidak selalu posisi yang penting akan memperoleh imbalan yang  tinggi karena di sisi lain penentuan besar imbalan sebenarnya juga dipengaruhi oleh mudah tidaknya sebuah kedudukan atau posisi itu diisi oleh anggota masyarakat. Pekerjaan sebagai petani , misalnya , diakui semua orang penting dalam menyediakan kebutuhan pangan penduduk. Namun, karena untuk menjadi petani  tidak dibutuhkan persyaratan yang terlalu rumit dan banyak orang dengan mudah bisa mengisinya, maka pada umumnya posisi  petani tidak diberi imbalan yang besar.
Pendekatan konflik
         Pendekatan konflik memiliki asumsi yang  berhadapan  secara diametral dengan pendekatan Davis dan Moore. Dengan di pelopori oleh Karl Marx, pendekatan konflik  berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional  yang menciptakan stratifikasi sosial, melainkan  dominasi kekuasaan. Artinya menurut pendekatan konflik, adanya pelapisan sosial bukan di pandang sebagai hasil konsensus---karena semua anggoata masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu—tetapi lebih dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus menerima adanya  perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentangnya.
             Bagi penganut pendekatan konflik, pemberian kesempatan yang tidak sama dan semua bentuk diskriminasi dinilai menghambat orang-orang dari strata rendah untuk mengembangkan bakat dan potensi mereka semaksimal mungkin. Sistem seleksi di perguruan tinggi misalnya, bagi penganut pendekatan konflik akan di nilai tidak adil karena cenderung lebih menguntungkan orang-orang dari kelas atas yang lebih mampu membayar biaya  kursus di berbagai  program bimbingan tes yang banyak mengajarkan  cara-cara cepat dan praktis dalam mengerjakan soal.
             Dalam berbagai tulisannya, Marx acap mengemukakan  bahwa dasar pembentukan kelas sosial bukanlah  konsensus, tetapi penghisapan suatu kelas oleh kelas lain yang lebih tinggi. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, para pemilik sarana produksi pada hakikatnya adalah wakil dari kelas atas yang melakukan  tekanan serta dapat memaksakan kontrol terhadap kelas buruh yang posisinya lebih rendah.
Cara Mempelajari Stratifikasi Sosial
  Menurut Zanden (1979), di dalam sosiologi dikenal tiga  pendekatan untuk mempelajari stratifikasi sosial, yaitu:
Pendekatan Objektif
    Artinya, usaha untuk memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan dilakukan menurut ukuran-ukuran yang objektif berupa variable yang mudah di ukur secara kuantitatif. Beberapa  pakar demografi, misalnya, sering membagi masyarakat menurut kategori umur, tingkat pendidikan, atau perbedaan  besar penghasilan. Pihak yang di kategorikan  menurut pendekatan objektif mungkin saja mereka  tidak menyadari atau menolak  termasuk ke dalam kategori  yang di buat secara objektif oleh pakar tersebut. Contoh: ketika pemerintah  mengumumkan jumlah orang miskin di Indonesia tahun 1990 hanya tinggal sekitar 27 juta jiwa, banyak anggota masyarakat menolak atau tidak sadar bahwa mereka termasuk orang miskin.




Pendekatan Subjektif
Artinya, munculnya pelapisan sosial  dalam masyarakat tidak  diukur dengan kriteria-kriteria yang objektif, melainkan di pilih menurut kesadaran kesadaran subjektif warga masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan pendekatan objektif dimana peneliti bias menyusun kategori statistik, untuk pendekatan subjektif yang tersusun adalah kategori sosial yang ditandai oleh kesadaran jenis.
            Seseorang yang menurut kriteria objektif termasuk miskin, menurut pendekatan subjektif ini biasa saja di anggap tidak miskin kalau ia sendiri memang merasa bukan termasuk kelompok masyarakat miskin.
Pendekatan Reputasional
Artinya, pelapisan sosial disusun dengan cara subjek penelitian  diminta menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut ke dalam suatu skala tertentu. Untuk mencari siapakah di desa tertentu yang termasuk kelas atas, peneliti yang menggunakan pendekatan reputasional  biasa melakukannya dengan cara menanyakan  kepada warga desa tersebut siapakah warga desa setempat yang paling kaya atau menanyakan  siapakah warga desa setempat yang paling mungkin diminta pertolongan meminjamkan uang dan sebagainya.**
Pelapisan Sosial di Indonesia
Untuk memahami pelapisan sosial di Indonesia, kita diminta untuk menyatukan persepsi tentang suatu pendekatan yang menyatukan teori  fungsional dan teori  sistem yang menekankan  pentingnya konsensus, dengan pendekatan konflik  seperti yang dikehendaki  oleh prinsip “Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini berarti  kita dituntut untuk  memahami kemajemukan Bangsa Indonesia dan sekaligus menghayati nilai kesatuan dan persatuan nyang termaktub dalam sila ketiga Pancasila. Kbhinekaan Bangsa Indonesia  dapat dilihat secara horizontal maupun secara vertikal.
Kebhinekaan horizontal dapat kita lihat dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, perbedaan adat istiadat dan perbedaan  kedaerahan. Latar belakang  kemajemukan masyarakat ini menimbulkan  status sosial yang seringkali menunjukkan ciri-ciri antara lain:
a.       Tumbuhnya kelompok-kelompok yang memiliki sub kultur tersendiri.
b.      Memiliki struktur sosial yang terbagi dalam lembaga-lembaga yang  memiliki pandangan yang berbeda. Misalnya perbedaan garis keturunan suku Minangkabau dengan suku bangsa lainnya.
c.       Adanya fanatisme terhadap nilai-nilai kepercayaan  (yang bersifat mendasar) seperti dalam hal agama dan kepercayaan  terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
d.      Integrasi hanya didasarkan pada kepentingan-kepentingan bersama. Dalam hal ini  Indonesia integrasi nasionalnya didasari oleh  keyakinan untuk mencapai kesejahteraan  secara nasional.
e.       Adanya  kecenderungan  dominasi politik oleh suatu kelompok tertentu yang telah mencapai tingkat budaya yang lebih maju.
 Struktur masyarakat Indonesia yang demikian disebabkan karena beberapa hal yaitu :
a.       Keadaan Geografis
Kondisi geografis yang mewadahi bangsa Indonesia merupakan tebaran ribuan pulau yang membentang sekitar 3000 mil arah timur barat dan sekitar 1000 mil arah utara selatan, menyebabkan terjadinya isolasi antara penduduk  satu pulau dengan pulau lainnya. Dengan kata lain, terjadilah isolasi antar suku bangsa. Perasaan kesukuan  ini timbul  karena adanya satu keterikatan  secara emosional penduduk. Mereka merasa  berasal dari keturunan yang sama, menghadapi tantangan  yang sama, dengan cara hidup dan kehidupan yang sama. Keadaan ini melahirkan  lebih dari 300 suku bangsa di Indonesia dengan sekian ragam  kebudayaan dan adat istiadatnya. Isolasi ini sedikit demi sedikit oleh pemerintah ditembus dengan kemajuan teknologi komunikasi di Indonesia, sehingga ciri konflik  dari masyarakat majemuk  dapat sedikit demi sedikit mengabur disamping karena  adanya kesatuan ideologi yang kuat.

b.      Pengaruh beberapa  kebudayaan yang berkembang  sejak zaman Hindu, masuknya kebudayaan Islam serta  kebudayaan Bangsa Barat di Indonesia. Pengaruh kebudayaan ini telah menimbulkan kesatuan-kesatuan  sosial yang berdasarkan  agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.


c.       Dari sudut kehidupan sosial Bangsa Indonesia baik  sosial ekonomi maupun sosial budaya juga menunjukkan kebhinekaannya.  Hal ini disebabkan oleh  kondisi lahan dan cuaca. Perbedaan ekologis ini  menyebabkan perbedaan kepadatan penduduk dimana masyarakat cenderung untuk mendiami daerah-daerah yang subur. Tentu saja hal ini  akan menimbulkan  permasalahan tersendiri dalam bidang kependudukan dan pelapisan sosial.

            Implikasi dari ketiga hal tersebut dalam sistem pelapisan sosial  di Indonesia dapat  dilihat dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut:
a.       Pandangan kita tentang kebhinekaan  Bangsa Indonesia secara vertikal telah melahirkan  berbagai macam status sosial.
b.      Adanya isolasi antarsuku bangsa serta perbedaan ekologis dapat merupakan indikator dalam penyusunan atau polarisasi sosial berdasarkan pandangan vertikal yang melahirkan struktur sosial.

Secara vertikal di Indonesia dapat kita lihat dalam  polarisasi sosial berdasarkan politik kekayaan. Kekayaan dan politik ini dikembangkan dalam berbagai tingkatan dan bentuk baik yang bersifat tradisional maupun modern.
 Heterogenitas masyarakat Indonesia  menyebabkan timbulnya berbagai  kelompok semu yang semakin intens dan meningkat menjadi suatu golongan, baik yang berdasarkan kesukuan, agama, ras dan sebagainya. Golongan-golongan yang ekslusif dengan batas  “in group” dan “reference group”  yang tegas mengikat anggota-anggota golongan itu dalam suatu kepentingan untuk  memperjuangkan dan mempertahankan  eksistensinya telah merubah golongan itu menjadi kelompok  kepentingan dalam bentuk yang lebih formal. Pada mulanya kelompok-kelompok keoentingan itu  bergerak dalam bidang sosiokultural, tetapi dalam perkembangan  selanjutny berkembang menjadi kegiatan politik yang membentuk partai-partai politik. Untuk jelasnya kita bandingkan dengan keadaan  pada zaman revolusi fisik, zaman penjajahan dan masa kemerdekaan. Perubahan orientasi  dari masalah-masalah sosial budaya ke masalah politik melalui serangkaian proses kristalisasi ideologi  yang cukup panjang.
Kemampuan suatu partai politik menawarkan suatu nilai yang melandasi  partainya akan menjadikannya  partai besar yang dalam sistem  pemerintahan parlemen  menawarkan kesempatan untuk berkuasa. Namun dilain pihak, karena proses kristalisasi nilai dari berbagai latar belakang  sosiokultural menimbulkan  adanya konflik dalam tubuh partai tersebut. Perlu dikaji perkembangan Masyumi  sebagai partai terbesar dalam pemilu 1995 yangmerupakan fusi dari dua kutub  yaitu NU dan Muhammadiyah.
Adanya partai besar dan atau berkuasa menyebabkan terjadinya struktur tersendiri dalam dunia kepartaian. Disamping itu peraturan-peraturan  formal birokratif dalam dunia politik  menyebabkan timbulnya golongan-golongan penguasa (elite politik) berhadapan dengan golongan  yang tergolong massa. Dan umumnya golongan  politisi di pandang menempati suatu tingkat elite tertentu berdasarkan kekuasaan  dan wewenang yang dimiliki.
            Dalam bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan pada dua kenyataan yaitu perekonomian tradisional dan perekonomian modern. Keduanya memiliki ukuran tersendiri. Perekonomian  tradisional masih terpengaruh  oleh kebudayaan feodal, kekayaan dan status sosial seorang semata-mata ditentukan  berdasarkan pemilikan tanah. Kenyataan ini masih dapat ditemukan  di daerah-daerah pedesaan  yang mata pencahariannya masih homogen. Namun pengaruh komunikasi  dan orbitasi  yang semakin lancar sangat dirasakan dalam perubahan struktur perekonomian. Terjangkaunya daerah pedesaan oleh modernisasi  telah membentuk suatu sistem sosial baru yang terdiri dari kaum elite desa dan massa, demikian hasil penelitian W.M.F.  HOFSTEEDE di empat desa di Jawa Barat tahun 1970.  Elite desa terdiri  dari Kepala Desa, Guru, tokoh politik dan agama, petani kaya, selanjutnya lapisan massa terdiri dari petani menengah, buruh tani, pedagang, kecil, serta yang mengusahakan kerajinan-kerajinan tangan.
Dampak modernisasi  dan kemajuan industrialisasi serta ilmu pengetahuan  terhadap stratifikasi sosial  masyarakat kota tampak  dengan terbukanya kesempatan mobilisasi  keatas melalui prestasi , keterampilan dan profesi   yang mampu mengangkat pribadi yang bersangkutan  dalam kehidupan baik material  maupun non material. Bentuk lain dari pelapisan sosial  Indonesia yang masih  dapat kita jumpai adalah stratifikasi  berdasarkan keturunan dan kasta. Secara formal struktur ini masih  dianut tetapi dalam  kehidupan sehari-hari tidak terlalu menunjukkan garis yang tegas. Pelapisan yang  berdasarkan  keturunan atau  kebangsawanan ini umumnya  berpengaruh dalam pola perkawinan antarsuku bangsa. Sedangkan  sistem kasta masih  kita jumpai di masyarakat Bali yang menganut agama Hindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar