Kekuasaan dalam
kaitannya, apakah sama bila diibaratkan dengan stratifikasi sosial? Mungkin
saja bisa, karena menurut saya stratifikasi soaial merupakan suatu pembedaan masyarakat dimana kaum terpilihlah yang menempati kekuasaan
atau strata tertentu dengan jumlah yang sedikit. Semakin ke atas semakn sedikit orang yang menempati suatu kekuasaan/ jabatan
maupun peranan yang ditempati ibarat sebuah segitiga stratifikasi (semakin ke atas
terlihat semakin kecil).
Mungkin hal
tersebut diatas erat kaitannya dengan
konsep distribusi kekuasaan di dalam ilmu politik. Di mana terdapat 3
(tiga) model kekuasaan di dalamnya,
yakni model populis, model elistis, dan model pluralis. Pertama saya akan
mengkaji distribusi kekuasaan model elistis jika dikaitkan dengan perpolitikan
di Indonesia. Yang dimaksud dengan model elistis yaitu di mana kalangan elitlah yang sebagian besar memiliki
kekuasaan atau wewenang atas orang-orang yang sebagian besar dikuasai. Nah, jika
kita kaitkan dengan kenyataan
perpolitikan di Indonesia misalnya,
sesungguhnya distribusi kekuasaan model elistis inilah sudah pernah terjadi pada era orde baru.
Sejarah
mencatat bahwa pada masa itu, siapapun
yang mempunyai hubungan relasi yang baik dengan keluarga presiden maka dengan
mudah menduduki “kursi jabatan” tertentu. Terdapat unsur nepotisme yang kuat
disini, karena kaum elit yang demikian
dengan mudah mendapat kekuasaan. Apalagi yang terjadi sekarang ini,
hanya segelintir orang yang bisa menduduki
kekuasaan sebagai wakil rakyat
misalnya. Bukan karena faktor kredibilitas ataupun skill
kepemimpinan yang menyebabkan mereka dengan mudah menduduki “kursi dewan” ,
akan tetapi karena relasi yang strategis maupun materiil yang berlimpah
sehingga untuk mencari simpati rakyat itu bukanlah hal yang sukar bagi mereka.
Kembali lagi
kepada konsep stratifikasi sosial di
atas, bahwasanya kalangan yang bisa menempati suatu strata kekuasaan tertentu
berjumlah sedikit. Kenapa demikian? Menurut saya hal tersebut disebabkan karena
untuk mendapatkan kekuasaan kita harus mawas diri akan kemampuan kita di dalam
mengemban amanat rakyat. Apa yang dapat
kita lakukan untuk rakyat, apa kemampuan kita untuk mengubah kehidupan rakyat
ke arah yang lebih baik, apa yang dapat kita berikan untuk rakyat. Mungkin hanya sedikit orang yang memenuhi
kriteria tersebut. Maka menurut saya orang-orang yang berkuasa itulah merupakan
orang yang terpilih di dalam menjalankan aspirasi rakyat, bukan karena berasal
dari kaum terpandang (elit) maupun materi
yang melimpah.
Beranjak dari
model elistis dalam distribusi
kekuasaan, selanjutnya yang akan saya bahas dalam refleksi kali ini yaitu model populis dalam ditribusi kekuasaan.
Kilas balik dari pelaksanaan pemilu di
Tahun 2004 silam, untuk pertamakalinya bangsa Indonesia memilih presiden dan
wakil presiden secara langsung. Hal ini dapat dijadikan contoh bahwa partisipasi rakyatlah di dalam
demokrasi amat dibutuhkan dalam model
kekuasaan populis. menurut saya, hal ini ada baiknya karena rakyat bisa memilih
langsung sesuai dengan hati nurani.
Model kekuasaan populis ini pun masih tetap berjalan pada masa pemilu 2009. Tapi untuk pemilu berikutnya mungkin saja bisa
terus dilanjutkan sistem pemilu seperti demikian, akan tetapi tergantung dari
kebijakan pemerintah, karena pada saat ini pemerintah sedang menyiapkan UU baru
tentang sistem pemilu.
Sedikit koreksi dari saya, mungkin dari
sistem pemilu yang demikian diperlukan pengorbanan materiil yang tak sedikit
jumlahnya bagi negara. Berhubung jumlah rakyat Indonesia yang begitu banyak ,
maka pemilu pun membutuhkan biaya (cost) yang tidak sedikit, misalnya
saja penyediaan kertas suara dan
sebagainya. Apalagi jika pilpres saja
misalnya terdapat 2 (dua) kali putaran pemilihan, tentu saja memakan
biaya yang tak sedikit. Hal tersebut mungkin harus diimbangi dengan prinsip
pemilu yaitu LUBER dan JURDIL. Agar
dapat terpilihnya sosok pemimpin yang kredibilitasnya tinggi didalam
kekuasaannya.
Dan yang
terakhir yaitu model pluralis dalam distribusi kekuasaan. Model pluralis ini menekankan
pada banyak kelompok dalam masyarakat. Kelompok disini lebih tepatnya mungkin
parpol kali yah, karena kan fungsi parpol yaitu untuk menampung
seluruh aspirasi rakyat. Maka kinerja parpol harus intensif di dalam membela
hak-hak rakyat.
Terlepas dari
ke-3 model distribusi kekuasaan yang telah saya uraikan di atas, yang
terpenting yaitu para pemegang kekuasaan
merupakan kaum yang benar-benar terpilih dan bisa melaksanakan peranannya dengan
baik di dalam mengemban amanat rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar