Rabu, 02 Oktober 2013

MODEL DISTRIBUSI KEKUASAAN DAN APLIKASINYA DI INDONESIA



Kekuasaan dalam kaitannya, apakah sama bila diibaratkan dengan stratifikasi sosial? Mungkin saja bisa, karena menurut saya stratifikasi soaial  merupakan suatu pembedaan masyarakat dimana  kaum terpilihlah yang menempati kekuasaan atau strata tertentu dengan jumlah yang sedikit. Semakin ke atas  semakn sedikit orang  yang menempati suatu kekuasaan/ jabatan maupun peranan  yang ditempati  ibarat  sebuah segitiga stratifikasi (semakin ke atas terlihat semakin kecil).
Mungkin hal tersebut diatas  erat kaitannya dengan konsep distribusi kekuasaan di dalam ilmu politik. Di mana terdapat 3 (tiga)  model kekuasaan di dalamnya, yakni model populis, model elistis, dan model pluralis. Pertama saya akan mengkaji distribusi kekuasaan model elistis jika dikaitkan dengan perpolitikan di Indonesia. Yang dimaksud dengan model elistis yaitu di mana  kalangan elitlah yang sebagian besar memiliki kekuasaan atau wewenang atas orang-orang yang sebagian besar dikuasai. Nah, jika kita kaitkan dengan  kenyataan perpolitikan di Indonesia  misalnya, sesungguhnya distribusi kekuasaan model elistis inilah  sudah pernah terjadi pada era orde baru.
Sejarah mencatat bahwa  pada masa itu, siapapun yang mempunyai hubungan relasi yang baik dengan keluarga presiden maka dengan mudah menduduki “kursi jabatan” tertentu. Terdapat unsur nepotisme yang kuat disini, karena kaum elit yang demikian  dengan mudah mendapat kekuasaan. Apalagi yang terjadi sekarang ini, hanya segelintir orang yang bisa menduduki  kekuasaan sebagai wakil rakyat  misalnya. Bukan karena faktor kredibilitas ataupun skill kepemimpinan yang menyebabkan mereka dengan mudah menduduki “kursi dewan” , akan tetapi karena relasi yang strategis maupun materiil yang berlimpah sehingga untuk mencari simpati rakyat itu bukanlah hal yang sukar bagi mereka.
Kembali lagi kepada konsep stratifikasi  sosial di atas, bahwasanya kalangan yang bisa menempati suatu strata kekuasaan tertentu berjumlah sedikit. Kenapa demikian? Menurut saya hal tersebut disebabkan karena untuk mendapatkan kekuasaan kita harus mawas diri akan kemampuan kita di dalam mengemban amanat rakyat.  Apa yang dapat kita lakukan untuk rakyat, apa kemampuan kita untuk mengubah kehidupan rakyat ke arah yang lebih baik, apa yang dapat kita berikan untuk rakyat.  Mungkin hanya sedikit orang yang memenuhi kriteria tersebut. Maka menurut saya orang-orang yang berkuasa itulah merupakan orang yang terpilih di dalam menjalankan aspirasi rakyat, bukan karena berasal dari  kaum terpandang (elit) maupun materi yang melimpah.
Beranjak dari model elistis  dalam distribusi kekuasaan, selanjutnya yang akan saya bahas dalam refleksi kali ini yaitu  model populis dalam ditribusi kekuasaan. Kilas balik  dari pelaksanaan pemilu di Tahun 2004 silam, untuk pertamakalinya bangsa Indonesia memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Hal ini dapat dijadikan contoh  bahwa partisipasi rakyatlah di dalam demokrasi  amat dibutuhkan dalam model kekuasaan populis. menurut saya, hal ini ada baiknya karena rakyat bisa memilih langsung sesuai dengan hati  nurani. Model kekuasaan populis ini pun masih tetap berjalan pada masa pemilu 2009.  Tapi untuk pemilu berikutnya mungkin saja bisa terus dilanjutkan sistem pemilu seperti demikian, akan tetapi tergantung dari kebijakan pemerintah, karena pada saat ini pemerintah sedang menyiapkan UU baru tentang sistem pemilu.
  Sedikit koreksi dari saya, mungkin dari sistem pemilu yang demikian diperlukan pengorbanan materiil yang tak sedikit jumlahnya bagi negara. Berhubung jumlah rakyat Indonesia yang begitu banyak , maka pemilu pun membutuhkan biaya (cost) yang tidak sedikit, misalnya saja penyediaan  kertas suara dan sebagainya. Apalagi jika pilpres saja  misalnya terdapat 2 (dua) kali putaran pemilihan, tentu saja memakan biaya yang tak sedikit. Hal tersebut mungkin harus diimbangi dengan prinsip pemilu  yaitu LUBER dan JURDIL. Agar dapat terpilihnya sosok pemimpin yang kredibilitasnya tinggi didalam kekuasaannya.
Dan yang terakhir yaitu model pluralis dalam distribusi kekuasaan. Model pluralis ini menekankan pada banyak kelompok dalam masyarakat. Kelompok disini lebih tepatnya mungkin parpol kali yah, karena kan fungsi parpol yaitu untuk menampung seluruh aspirasi rakyat. Maka kinerja parpol harus intensif di dalam membela hak-hak rakyat.
Terlepas dari ke-3 model distribusi kekuasaan yang telah saya uraikan di atas, yang terpenting  yaitu para pemegang kekuasaan merupakan kaum yang benar-benar terpilih dan bisa melaksanakan peranannya dengan baik di dalam mengemban amanat rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar